12/1/11

Sea Games 2011 (Indonesia)



Perunggu (Perorangan Putra)

Bintang Bulutangkis Dunia

Foto bersama dalam rangka menghadiri
"Peresmian Sekolah Bulutangkis Li Yong Bo"
Cina, November 2011





Lin Dan bt Taufik Hidayat dalam pertandingan persahabatan 21-13 21-18 

Taufik Hidayat kecil sampai mendapat Emas Olimpiade


Taufik Hidayat
Si Pemalu yang Sarat Prestasi

SELAMA ini Taufik Hidayat, dikenal sebagai sosok yang mudah
terpancing emosinya. Tak saja di lapangan, tetapi juga di luar
lapangan. Sebagian publik sudah melihat bagaimana ketika Taufik
secara emosional tak mau melanjutkan pertandingan final nomor
beregu putra di Asian Games 2002. Atau bagaimana seorang
Taufik, dengan ''gampang'' memukul sopirnya Ahmad Kalla,
ketika mobilnya bersinggungan.

Namun siapa sangka, masa kecil Taufik berbeda seratus delapan
puluh derajat. Menurut guru-guru, para tetangga dan orang-orang
dekatnya, Taufik kecil justru dikenal sebagai anak yang lugu,
pendiam, dan pemalu.

***

MATANYA berkaca-kaca, ketika sang guru menegurnya karena
ia tidak mengerjakan ''PR'' (pekerjaan rumah). Melihat itu, sang
guru pun merasa kasihan dan tak tega memberinya hukuman.
Wajah anak itu begitu lugu dan menggemaskan, terlebih dalam
kesehariannya anak itu tidak pernah neko-neko. Akhirnya si murid
hanya disuruh mengerjakan ''PR''-nya di dalam kelas.

Itulah momen yang selalu diingat tiga guru Sekolah Dasar Negeri
Pangalengan I tentang Taufik Hidayat. Pebulu tangkis yang
meraih medali emas di Olimpiade Athena 2004 ini memang
tercatat sebagai murid SDN Pangalengan I dengan nomor induk
5563 yang lulus tahun 1986.

Di sekolah yang terletak di pinggir Jln. Raya Bandung-
Pangalengan inilah Taufik menghabiskan masa kecilnya. Dilihat
dari fisik bangunannya, sekolah dasar yang terdiri dari tiga
sekolah itu (SDN Pangalengan I, II dan III) tidaklah istimewa.
Bangunannya sederhana seperti umumnya sekolah-sekolah dasar
yang ada di daerah. Bahkan di beberapa bagian sudah memerlukan
sentuhan perbaikan, minimal pengecatan. Tetapi dari sekolah yang
tak memiliki lapang bulu tangkis itulah ''lahir'' juara dunia bulu
tangkis, Taufik Hidayat.

Teni Riani (guru kelas I), Ranny Nuraeni, S.Pd. (guru kelas III),
dan Dra. Dewi Herliani (guru kelas IV) mengisahkan ketika
berada di bawah bimbingan mereka, Opik,--panggilan akrab
Taufik Hidayat,--memang termasuk anak pendiam dan pemalu,
jauh dari kesan menonjol. Pergaulannya terbatas hanya dengan
teman-teman tertentu. Bukan karena sombong, melainkan karena
pemalu. Satu-satunya sahabat kentalnya di SD adalah Anton yang
kini menjadi polisi.

Kulit putih, dengan wajah yang imut-imut membuat banyak orang
menyukai Opik, temasuk para guru dan teman-temannya.
Kerapihannya dalam berpakaian seragam sering dijadikan contoh.
Tetapi namanya juga anak-anak, pertengkaran selalu terjadi karena
berbagai sebab. Namun Opik cenderung mengalah jika harus
bentrok dengan rekannya. Air matanyalah yang kemudian
mengakhiri pertikaian.

''Opik memang bisa dikatakan cengeng, karena tak melawan jika
ada teman yang mengganggunya. Makanya saya terkadang heran
jika membaca kasus-kasus yang dialami Opik akhir-akhir ini. Kok
sifat-sifat Opik sekarang berbeda dengan dulu?'' ujar Ranny.

Dalam mata pelajaran pun Opik terbilang biasa-biasa saja, bahkan
ketika duduk di kelas empat, rapor cawu I-nya sempat dihiasi tinta
merah untuk mata pelajaran IPS, matematika, dan IPA.
''Sebenarnya kecerdasan Opik terbilang lumayan, artinya tidak
kurang, hanya saja mungkin karena kecapekan, pelajaran Opik di
cawu I kelas empat menurun drastis,'' jelas Dewi.

Sejak kelas III SD, lanjutnya, Opik memang masuk klub
Sangkuriang Graha Sarana (SGS) di Jln. Soekarno Hatta Bandung.
Untuk itu setidaknya seminggu dua kali Opik harus bolak-balik
Bandung-Pangalengan yang berjarak sekira 40 km dengan
menumpang kendaraan umum. Bahkan latihan berlangsung
sampai malam hari sekira pukul 20.00 WIB.
Tak heran, jika di awal-awal masuk klub SGS Opik acap
kedapatan mengantuk di dalam kelas. ''Kunaon Pik nundutan wae
(Kenapa, Pik mengantuk saja)?'' Teguran itu kerap dilontarkan Ibu
Ranny manakala melihat Opik mengantuk di dalam kelas.
Untunglah hal itu tidak berlangsung lama, Opik segera dapat
menyesuaikan diri dengan kegiatannya dan bisa mengejar
ketinggalannya.

Sejak sering mengikuti berbagai turnamen, nama Opik semakin
dikenal di lingkungan teman-teman sekolahnya maupun di
lingkungan tempat tinggalnya. Kendati demikian, tidak ada
perlakuan istimewa untuknya. Kelebihannya, mungkin hanya
dalam kemudahan mendapatkan izin jika ada pertandingan di luar
sekolah. Tetapi, itu tidak seberapa dibandingkan dengan prestasi
yang diraih Opik.

''Sebagai gurunya, kami semua tentu merasa bangga, apalagi
dengan prestasi Opik di Olimpiade Athena 2004. Kami hanya bisa
mendoakan mudah-mudahan dia bisa terus menjaga prestasinya.
Kendati demikian, kami berharap sesekali Opik mau mampir ke
SDN Pangalengan I untuk memberi dorongan kepada adik-adik
kelasnya agar bisa berpresatsi seperti dirinya,'' ujar ketiga guru
wanita yang ketika diwawancara didampingi kepala sekolah, Elan.

***

KESEJUKAN alam pegunungan Pangalengan yang terkadang
dihiasi embun di pagi hari, telah membawa keteduhan bagi
sebagian penduduknya. Suasana inilah yang menghantarkan
pribadi seorang anak manusia yang di kemudian hari mampu
membahanakan nama Indonesia di mata dunia melalui prestasinya.
Suasana teduh Kecamatan Pangalengan yang jauh dari hiruk pikuk
kota, menjadikan Opik kecil tumbuh dengan pribadi tenang, tidak
meledak-ledak, bahkan nyaris tertutup.

Taufik Hidayat, dilahirkan pada 10 Agustus 1981 sebagai anak
kedua dari tiga bersaudara. Ayahnya menekuni bisnis sayuran
yang cukup dikenal di Pangalengan. Dari usahanya, ia mampu
menghidupi Taufik untuk mengikuti berbagai aktivitas di luar
sekolah.

Lingkungan rumah yang hangat, membuat Opik kecil cenderung
malas melakukan interaksi dengan lingkungan sekitar. Terlebih
ayahnya mendidik Opik kecil sangat disiplin. Terkadang saat Opik
meminta uang jajan, terlebih dahulu harus bermain tali (skipping)
atau memainkan dumbbell. Rupanya di balik ketatnya disiplin ini,
sang ayah secara diam-diam ingin membentuk fisik Opik menjadi
kuat. Opik pun memenuhi ''permintaan'' ayahnya tanpa beban.

Opik memang penurut dan termasuk anak rumahan yang manis.
''Jika tidak terlalu penting, kelihatannya ia malas keluar rumah.
Mungkin karena kecapekan latihan bulu tangkis,'' ujar Nung,
pembantu yang sudah lama ikut dengan keluarga H. Aries Haris
dan Hj. Enok Dartilah, orang tua Taufik.

Seperti kebanyakan anak lainnya, Opik sesungguhnya lebih
menyukai sepak bola. Namun ayahnya, menyarankan untuk
meraih prestasi sebaiknya menekuni bulu tangkis. Kebetulan ayah
dan ibunya menggemari olah raga ini. Maka, di usia tujuh tahun,

Opik sering kali diajak orang tuanya bermain bulu tangkis di
lingkungan rumahnya. Antara lain di GOR Pamor, Pangalengan.
Sejak itulah Opik lambat tetapi pasti mulai menyukai bulu tangkis.

Setelah agak mampu mengayunkan raket, tidak jarang ia
menggoda kakak dan adiknya bahkan pembantunya saat mereka
menjadi lawan tandingnya. Ketiga orang itu terkadang dijadikan
sasaran untuk di-smash, hingga acap Nung dibuat menangis.

Opik mulai dibina secara fisik oleh Ence Surahmat dan Ade di
GOR Pamor yang belakangan ini berubah fungsi menjadi kandang
ayam, karena pengurusnya bubar. Sejak itulah ia memberanikan
diri mengikuti pertandingan di lingkungan setempat, bahkan ia
mampu mengalahkan lawan yang sudah dewasa sekali pun.

Melihat kelebihan anaknya, Aries memasukan Opik ke SGS
pimpinan Lutfi Hamid. Opik ditangani pemain eksentrik Iie
Sumirat. Konsekuensinya, Opik terpaksa bolak balik Pangalengan-
Bandung.

''Jika pulang sekolah, Opik hanya sebentar berisitirahat, karena
harus siap-siap ke Bandung, terkadang Opik hanya sempat makan
dengan telur goreng kering kesukaannya, kali lain ia cukup
menyantap mi instan kegemarannya,'' cerita Nung.

Masa-masa ini tentu tinggal cerita manis bagi Nung. Karena sejak
masuk SMP Taufik kemudian hijrah ke Bandung. Awalnya ia
tercatat sebagai murid di SMP Pasundan I Jln. Balong Gede
Bandung. Karena tuntutan latihan yang padat, sering kali Taufik
harus bolos dari sekolah. Melihat kondisi ketatnya peraturan
sekolah, akhirnya Taufik pindah ke SMP Taman Siswa hingga ia
menamatkan pendidikan SMA.

Di sekolah ini Taufik mendapat kelonggaran untuk meraih prestasi
bulu tangkisnya. Bahkan ketika ujian akhir SMA pun Taufik
diperbolehkan mengikuti ujian susulan di ruang perpustakaan
sendirian. Setelah lulus SMA, Taufik kian berkembang. Dan
akhirnya ia hinggap di Pelatnas Cipayung.

Dengan keberhasilan Taufik saat ini, selain merasa bangga, warga
Pangalengan mengharapkan Taufik bisa berbuat sama seperti yang
dilakukan pendahulunya, Susi Susanti di Tasikmalaya. ''Kami
berharap ada GOR Taufik Hidayat di Pangalengan ini,'' ujar
Mantri Polisi Kecamatan Pangalengan, Rukman, mewakili
warganya. 

Kariernya Tak Selalu Mulus

Meski kini mengundang pujian dan kekaguman setelah merebut
medali emas di Athena, perjalanan karier bulutangkis Taufik
Hidayat di tingkat nasional tak selalu mulus. Bahkan tudingan
tidak nasionalis pernah menjadi risiko yang siap diterima Taufik
dan kedua orang tuanya, H. Aries Haris dan H. Enok Dartilah,
pada saat putra mereka tersebut memutuskan keluar dari Pelatnas
PB PBSI di Jakarta beberapa tahun lalu.

''Waktu itu Taufik mengadu, tak tahan berada lebih lama di
Pelatnas PBSI. Sebagai orang tuanya, saya harus bilang apa, tetapi
menarik Taufik akan membuat kami dituduh tidak nasionalis dan
sebagainya, tetapi kalau tidak tahan bagaimana lagi?'' ungkap H.
Aries.

Sikap Taufik dipicu oleh ke tidaknyamanan kondisi lingkungan di
Pelatnas PB PBSI, apalagi saat rekan-rekannya Jeffer Rosobin,
Salim dan pemain Jabar, George Rimarchdi dikeluarkan dari
Pelatnas yang melakukan promosi/degradasi pemain.

Di Bandung, pelatih sejak kecilnya di PB SGS, Iie Sumirat
berupaya mengubah sikap Taufik. ''Waktu itu saya katakan kepada
Taufik, kalau PBSI pintar mereka pasti takkan mencoret kamu.''

Tetapi pada saat bersamaan Iie mempersiapkan alternatif,
mengirimkan Taufik ke Taiwan. ''Rekan saya Dani Sartika
(mantan pebulutangkis nasional -red.) saat itu tengah berada di
Taiwan dan membutuhkan seorang pemain putra. Jadi Taufik saya
siapkan ke Taiwan jika dia memutuskan tetap keluar dari
Pelatnas.''

Untungnya Taufik mengubah keputusan dan bertahan di Pelatnas,
namun Taufik kemudian tetap menjadi sorotan karena ia selalu
mengutarakan hanya ingin ditangani oleh Mulyo Handoyo, yang
kemudian memang ikut mendampinginya saat merebut emas di
Athena. 

Sedemikian istimewakah Mulyo Handoyo di mata Taufik
Hidayat? Uniknya, prestasi Mulyo semasa menjadi pemain tak
pernah menonjol. Lagi pula, menurut Iie Sumirat, secara teknik
permainan Taufik akan bisa ditangani oleh siapapun yang menjadi
pelatihnya.

Namun, karakter yang unik dan sulit dipahami orang di Pelatnas
PBSI membuat Taufik tak menjadi pemain favorit di mata pelatih.
''Ini yang tidak mudah dimengerti orang, padahal kemauan dan
kecerdasan Taufik untuk mencapai prestasi sangat menonjol,'' kata
Lutfi Hamid.

Taufik rupanya lebih membutuhkan sikap seorang teman dalam
diri Mulyo Handoyo daripada seorang Mulyo yang murni bersikap
sebagai pelatih. Dan untungnya, Mulyo tak pernah berhenti
mendiskusikan masalah Taufik dengan Iie Sumirat meski
dipisahkan jarak Jakarta-Bandung.

Iie bisa memberi masukan karena mengenal Taufik sejak pertama
kali ia dibawa oleh H. Aries Haris dan rekannya, Momo dari
Pangalengan ke Bandung tahun 1991. Momo, adalah pasangan
Aries setiap kali mereka bermain bulutangkis di desa
Pangalengan. ''Pasangan tingkat RT lah, karena sampai saat inipun
kami masih rajin bertanding di desa,'' ungkap Aries.

Sejak diterima oleh PB SGS menjadi pemain, Taufik terpaksa
harus menjalani latihan minimal 4 kali dalam seminggu. Latihan
tersebut tentu saja dilakukannya dengan menempuh jarak
Pangalengan-Bandung pp setiap kali. ''Kasihan juga melihat
Taufik pulang pergi setiap kali latihan. Setelah berlatih sore hari,
mulai pukul 15.00 sampai 19.00 saya mengantarkan Taufik ke
Jalan Mohamad Toha menunggu bus ''Elok'' ke Pangalengan yang
biasanya ngetem di sana,'' ungkap Iie Sumirat. 

Syukur bagi Taufik, pada masa itu ia menerima banyak dukungan.
''Pak Hendra Budiharto dari RHB banyak membantu Taufik dan
dekat dengannya pada masa awal karier bulutangkisnya,'' kata
Aries Haris.

Sementara Taufik semakin berkembang permainannya di lapangan
bulutangkis, ia akhirnya pindah sekolah ke Bandung untuk
memudahkannya berlatih. ''Di lapangan Taufik tak pernah macammacam.
Ia biasanya hanya tersenyum meski dicurangi wasit
sekalipun. Kesan wajahnya yang selalu tersenyum itulah yang
menjadi ciri khas Taufik yang saya ingat,'' kata Hendra Budiharto,
yang pada saat itu juga menjadi Ketua Pusdiklat Hadtex Bandung.

Kenangan itu pula yang membuat banyak orang terkejut ketika
Taufik seakan-akan tak pernah henti menjadi sorotan media massa
dengan berbagai masalah yang dihadapinya. ''Suatu kali saya
berbicara dengan Taufik mengenai masalahnya, dan ia
mengungkapkan isi hatinya. Sebagai anak Pangalengan yang
datang ke kota besar Taufik mengalami kesulitan menghadapi
bermacam-macam tipe orang yang seringkali ingin mengaku
sebagai temannya. Hal-hal seperti itu tentu secara akumulatif
menimbulkan tekanan baginya, yang bisa meledak setiap saat,''
sebut Hendra Budiharto.

Taufik kemudian diterima masuk Pusdiklat Hadtex Jabar, terutama
setelah ia mencatat prestasi mengesankan menundukkan juara
yunior Bimantara, Ignatius Rudy pada sebuah kejuaraan di Jatim.
Padahal saat itu Taufik baru berusia 15 tahun, sementara Ignatius
sudah berusia 17 tahun. 

Tak hanya bermain tunggal, Taufik juga tampil di nomor ganda
berpasangan dengan Rizal. Hasilnya pada Piala SGS-Siliwangi di
Bandung, Taufik mampu menundukkan pemain senior, Hartawan
(Tangkas) meski kemudian kalah pada semifinal di tangan Yong
(Djarum). Dan bersama Inoki dan Rizal mereka menjadi tulang
punggung PB SGS Bandung.

Wajar kalau semakin banyak mata yang memantau prestasi
Taufik, tetapi tak pernah sekalipun pemain asal Pangalengan ini
meraih prestasi tertinggi di tingkat yunior. Alasannya sungguh
istimewa, ia langsung berubah status menjadi pemain senior,
setelah Ketua Bidang Organisasi dan Daerah PB PBSI, Ir. H. Lutfi
Hamid, mengusulkan namanya ke Pelatnas tahun 1996.

''Sebetulnya gagasan itu juga datang dari Ketua PB PBSI Pak
Suryadi, yang pada suatu kesempatan mengatakan kepada saya,
Taufik sebaiknya segera digabungkan dengan pemain di Pelatnas.
Hanya saja gagasan Pak Suryadi tersebut tentu harus dijalani
Taufik melewati prosedur yang berlaku,'' kata Iie Sumirat.

Taufik Hidayat yang dinilai sangat potensial, kemudian masuk ke
Pelatnas, meski peringkat nasionalnya hanya bercokol di urutan
ke-9. Padahal saat itu, pemain-pemain yang biasanya masuk
adalah peringkat 1, 2 dan 3. ''Pada saat itulah Jabar dituduh
melakukan KKN dan sebagainya oleh daerah lain. Tetapi kita
tengah membantu karier seorang pemain yang sangat potensial
menjadi aset nasional,'' kata Lutfi Hamid.

Tentu bukan Taufik Hidayat kalau masalah tak pernah
menjauhinya. Tahun 2001, sesaat setelah kejuaraan dunia di
Sevilla, Taufik mulai gerah di Pelatnas, setelah pelatihnya Mulyo
Handoyo dipecat dari Pelatnas dan pergi ke Singapura.

Putusan PBSI tersebut datang sangat mendadak setelah
sebelumnya Taufik dijatuhi skorsing oleh PB PBSI lewat DKO
yang diketuai Karsono. Ia tak boleh ikut dua turnamen di luar
negeri. Di Sevilla, Taufik tampil, tetapi kalah di tangan
Hendrawan (karena cedera dan tak bisa melanjutkan pertandingan)
yang kemudian muncul sebagai juara dunia 2001.

Pada saat Mulyo dipecat, Taufik kemudian mengemukakan
keinginannya pindah dan bermain untuk salah satu klub di
Singapura. ''Terus terang waktu itu saya tak bisa melakukan apaapa,''
ujar Aries.

Fakta itu membuat PB SGS dan PB PBSI sempat dihadapkan pada
pilihan, melakukan transfer Taufik Hidayat ke Singapura. Ketua
PBSI Jabar sekaligus PB SGS Lutfi Hamid pun dan Iie Sumirat
dipanggil oleh Ketua Umum PB PBSI, Chaerul Tanjung ke
Jakarta. ''Kami menghadap Pak Chaerul di kantor Trans TV,''
sebut Iie Sumirat.

Situasi saat itu tidak menguntungkan bagi Taufik Hidayat karena
Indonesia tengah mempersiapkan diri menghadapi Piala Thomas
2002. Tetapi sekali lagi, semuanya berakhir baik ketika keputusan
Taufik meninggalkan tanah air tak menjadi kenyataan.

Sebuah anugerah pula, ketika akhirnya Mulyo bersedia memenuhi
permintaan Taufik lewat lobi PBSI (Lutfi Hamid dan Rudy
Hartono) untuk kembali ke tanah air menangani Taufik Hidayat.

''Berbagai masalah yang dihadapi Taufik membuat kami
sekeluarga pusing dan frustrasi. Tetapi kemenangan di Athena
menjadikan kami plong. Rasanya semua kesulitan yang pernah
kami alami terbayar. Sebagai ayah Taufik saya bangga, senang
menyaksikan cita-cita anak kami tercapai. Tetapi di atas segalanya
ini memang anugerah Tuhan,'' kata H. Aries Haris.

Sebuah anugerah pula, karena di final Olimpiade Athena Taufik
tak perlu berjuang menghadapi Lin Dan dan Bao Chunlai.
''Mereka adalah pemain yang sangat menyulitkan Taufik.
Sebaliknya Peter Gade sudah uzur. Sejak awal saya yakin Taufik
bisa mengatasinya,'' kata Iie Sumirat.

Bagi Iie Sumirat, pada usia 24 tahun saat ini, karier Taufik
Hidayat diharapkan akan mampu mengukir namanya dengan
prestasi puncak pada turnamen bergengsi All England dan
Kejuaraan Dunia Bulutangkis. ''Ya, kalaupun Taufik ingin segera
menikah sebagai pelatih bulutangkis kalau boleh mengusulkan
sebaiknya ia menunggu hingga usia 27 tahun. Dalam tiga atau
empat tahun mendatang, karier Taufik akan berada di puncak.''

Hal lain yang mengganggu Taufik adalah cedera pada lututnya,
yang sejak lama sudah dideritanya. Cedera tersebut, menurut
perkiraan Iie Sumirat, diawali pada cedera pinggangnya yang
berhubungan dengan urat-urat kakinya. ''Setiap kali berlatih keras,
cederanya pasti kambuh, tetapi pemeriksaan lebih teliti tentu perlu
dilakukan.''

Secara teknik permainan Taufik sama baiknya dengan pemain top
dunia manapun. Hanya setiap kali seorang pemain tampil di
lapangan, faktor motivasi, kondisi serta koordinasi fisik dan
mental akan memegang peranan.

Di mata Lutfi Hamid, di Athena, Taufik dan Mulyo Handoyo
ternyata mampu mengatasi tuntutan itu. Karenanya pada masa
mendatang, Taufik diharapkan akan tetap ditangani Mulyo sebagai
pelatihnya. Don't change the winning team, jangan pisahkan lagi
Taufik dan Mulyo. Di Singapura, Mulyo bisa membuat
penampilan Ronald Susilo yang tak istimewa di tanah air menjadi
pemain berbahaya, jadi dia bukan pelatih jelek. Apalagi bersama
Taufik mereka merebut emas di Athena!

Terhipnotis Kehidupan Ibukota

Cerita kehidupan Taufik Hidayat setelah masuk pelatnas
bulutangkis Cipayung Jakarta, mulai berembus miring. Kondisi
tersebut sangat bertolak belakang dengan sikap dia ketika pertama
kali menghuni pelatnas tahun 1996. Taufik pertama kali masuk
pelatnas masih lugu.

Bisa jadi, apa yang dituturkan tiga guru Opik--panggilan Taufik-
semasa duduk di bangku sekolah dasar (dalam tulisan bagian 1)
bahwa dia anak pemalu dan pendiam memang benar adanya.

Dua tahun di pelatnas, dia belum begitu dikenal luas dalam
percaturan bulutangkis internasional, walau ikut andil membawa
Indonesia merebut medali emas beregu di Asian Games 1998. Saat
itu, nama dia tenggelam oleh ketenaran seniornya, Haryanto Arbi
atau Hendrawan.

Nama Taufik Hidayat tiba-tiba mencuat. Itu bukan karena soal
prestasi di bidangnya, tapi dia bisa memikat hati petenis putri,
Wynne Prakusya, yang saat itu menjadi petenis nomor 1
Indonesia, sebelum Angelique ''Angie'' Widjaja muncul ke
permukaan. Singkat cerita, Taufik dan Wynne pacaran.

Ternyata hubungan mereka tidak langgeng. Mereka putus karena
perbedaan prinsip. Paling menghebohkan, Wynne mulai
''bernyanyi'' ke media massa bahwa Taufik telah meminjam uang
sebesar Rp 40 juta untuk membeli mobil. Wynne sempat menuntut
agar uang tersebut dikembalikan. Namun, kelanjutan masalah itu
diselesaikan mereka berdua.

Walau didera masalah pribadi, ternyata prestasi di bulutangkis
tidak terganggu. Dia untuk pertama kali merebut medali emas di
multievent SEA Games 1999 Brunei Darussalam nomor
perseorangan dan meraih juara Indonesia Terbuka. Prestasi yang
cukup bagus karena usia dia saat itu baru 18 tahun.

Seiring dengan perjalanan waktu, Taufik pun mulai mengenal
denyut nadi kehidupan malam Kota Jakarta yang bisa merangsang
jiwa anak muda untuk ikut hanyut dalam gegap gempita dunia
hiburan. Jiwa muda Taufik ternyata tidak menampik kondisi
seperti itu. Pergaulan dia makin luas, tidak hanya di lingkungan
Pelatnas Cipayung lagi.

Ia ditengarai mulai sering mencari hiburan dengan cara datang ke
kafe-kafe hingga larut malam untuk melepaskan diri dari
kejenuhan, karena di lingkungan pelatnas waktunya habis untuk
latihan dan istirahat. Sebenarnya, sebagai manusia normal tidak
memiliki masalah bila mencari hiburan pada malam hari. Namun,
karena posisi dia sebagai atlet nasional, tentu ada batasan yang
tidak boleh dilewati begitu saja.

Sikap dia pun menjadi penuh kontroversial. Ia menjadi sosok
fenomenal karena berani mengkritik organisasi PBSI secara
lantang ke media massa. Jiwa muda Taufik berontak kalau harus
terkungkung dengan aturan ketat di pelatnas, walau sebenarnya
hal itu untuk membina sikap disiplin atlet. Karena itu, sudah
menjadi rahasia umum bila dia termasuk atlet yang bandel dan
sering keluar malam. Sikap beraninya tersebut sebenarnya
memiliki risiko. Terbukti, dia mendapat sanksi dari PBSI tidak
boleh dua kali ikut turnamen bulu tangkis pada masa
kepengurusan Soebagyo H.S.

Menjelang Olimpiade 2000 Sidney, nama dia makin meroket
melebihi dari prestasi olah raganya. Taufik berpacaran dengan
Riafinola Ifari Sari alias Nola, salah satu personel dari kelompok
penyanyi ''AB Three''. Taufik pun mulai dikenal lebih luas, tidak
terbatas pada kalangan olah raga lagi, tapi masyarakat yang
senang menonton berita-berita infotainment.

Saat itu, di mana ada Nola, Taufik selalu mendampinginya. Ia
seakan sudah mulai menjadi selebriti karena mulai masuk dunia
hiburan. Nola pun bersikap sama. Ketika kekasihnya berjuang di
Sidney, dia ikut menyusul ke sana. Bahkan, Taufik sempat marah
kepada Pikiran Rakyat karena memberitakan dia keluar dari
perkampungan atlet malam hari untuk menemui Nola.

Gagal meraih prestasi di Olimpiade 2000, nama dia tidak
tenggelam begitu saja. Bahkan, makin berkibar karena setelah
hubungan dengan Nola putus, dia berpacaran dengan artis cantik
bintang sinetron, Deswita Maharani. Walau sudah gonta-ganti
pacar, dia masih tetap bisa memperlihatkan prestasi bulutangkis.
Ia merebut medali emas di Asian Games 2002 Busan Korea.
Hubungan dengan Deswita sendiri tampaknya lebih serius.
Mereka secara resmi bertunangan. Mereka berdua sudah sepakat
untuk melanjutkan hingga jenjang pernikahan, walau belum
bersedia menyebutkan kepastian waktunya. ''Yang tahu hanya
saya dengan Deswita,' ujar Taufik pada saat penyambutan
kedatangan Kontingen Indonesia di ruangan VIP Terminal 1
Bandara Internasional Soekarno Hatta, Selasa (24/8).

Kehidupan pribadi Taufik terkesan mulai glamour. Kebiasaan
mencari hiburan ke kafe pada malam hari untuk sekedar refreshing
tak bisa dihilangkan. Kondisi seperti itu, jelas bisa mengganggu
persiapan dia karena waktu istirahat menjadi sempit. Tak
tanggung-tanggung, sering dianggap indisipliner karena keluar
malam, pada tahun 2003, Taufik tidak mau ditangani pelatih
pelatnas sekelas Dwi Agus Santoso dan Joko Suprianto.

Kebiasaan itu terus berlanjut. Saat pelatnas Olimpiade masih
berlangsung atau tiga pekan menjelang keberangkatan ke Athena,
Taufik dengan seorang rekannya sesama pelatnas, kepergok
wartawan tengah berada di Hard Rock Cafe Plaza EX Jakarta pada
acara I Like Monday konser Padi. Padahal, arah jarum jam sudah
menunjukkan pukul 00.35 WIB.

''Terserah orang mau menilai apa kehidupan pribadi saya. Yang
terpenting, saya sudah bisa membuktikan prestasi di bulutangkis
dengan meraih medali emas di Olimpiade,'' ujar Taufik.

Taufik menjelaskan karakter setiap orang berbeda, tidak bisa
disamakan satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, kebiasaan
seseorang itu tidak bisa dinilai secara sepintas. ''Saya juga kan
tahu waktu. Cuma cari hiburan saja kok,'' belanya.

Sekarang Taufik memang tengah bergelimpang uang. Sebuah
rumah di kawasan elite di Bukit Rafflesia Cibubur Jakarta
merupakan hasil jerih payah selama menggeluti bulutangkis. Di
dalam garasi rumah juga sudah ada mobil mewah BMW warna
silver dan Nissan Sport warna merah. Belum lagi sekarang, setelah
meraih emas di Olimpiade 2004, dia bakal mendapat bonus dalam
bentuk kontan sebesar Rp 1 miliar dari KONI dan rumah seharga
Rp 2 miliar dari ketua umum PBSI, Sutiyoso. Bonus itu akan
bertambah lagi dari pihak lain termasuk dari Pemprov Jabar.

Pelatih Taufik, Mulyo Handoyo mengatakan pribadi Taufik ini
cukup ''nyentrik''. Dia orangnya keras, sehingga dalam
memberikan pengarahan perlu pendekatan pribadi. Tidak bisa
dengan cara keras dan tegas. Begitu juga soal kebiasaan dia keluar
malam pergi ke cafe-cafe, Mulyo hanya mengingatkan dia agar
tahu waktu.

''Ada batas toleransi waktu. Tapi saya tidak membebaskan dia
begitu saja. Kalau kebablasan sampai begadang, saya jelas akan
melarangnya,'' ujar Mulyo.

Mantan atlet nasional, Ricky Subagja mengakui jiwa muda Taufik
sering kurang terkontrol. Kadang Taufik lupa bahwa dirinya
seorang atlet nasional dan menjadi tulang punggung bulutangkis
Indonesia. Sebagai contoh, kata Ricky, kasus pemukulan pada
sopir pribadi Ahmad Kalla. ''Coba kalau sopir itu melawan,
kemudian Taufik cedera. Ya, kasarnya kalau tangan kanannya
sampai cedera parah, dia mau gimana? Nah dia kadang tidak
memikirkan lebih jauh soal akibatnya,'' ujar Ricky.

Oleh karena itu, Ricky berpesan agar Taufik bisa lebih dewasa,
mampu mengontrol emosinya karena prestasi dia tidak cukup
sampai Olimpiade 2004. ''Usia dia masih muda (23 tahun) dan
masih berpeluang untuk meraih juara dunia dan kejuaraan
bergengsi lainnya seperti All England,'' ingat Ricky.

Ayah Taufik, H. Aries Haris, mengatakan sebenarnya anaknya itu
berkelakukan baik. Sepintas orang menyebut Taufik sombong.
Tapi kalau sudah dekat, orang akan tahu pribadi dia sebenarnya.
''Kalau menilai jangan hanya dari luarnya saja. Taufik sering ke
kafe malam hari, orang langsung memvonis negatif. Kan sudah
nggak benar penilaiannya,'' ujar Aries. (pikiran-rakyat.com)